Ayah? denger kata yang satu itu,
kayaknya susah banget kalo dibikin cerita. Well, aku memang nggak seperti gadis
pada umumnya, yang katanya anak perempuan itu lebih deket sama ayahnya
ketimbang ibunya. Ayahku dan aku, jauh, jauh sekali, bahkan aku hampir nggak
ngerasain ada koneksi antara kami berdua
sangking jauhnya. Ayahku orang yang lebih banyak diam, nggak ekspresif, dingin,
kaku, dan sepertinya semua sifat itu menurun ke aku, sehingga kami sama-sama
kaku satu sama lain.
Aku seorang gadis yang lebih banyak tumbuh diluar, meskipun lebih banyak
tinggal di kamar, aku sering mencari sosok yang hilang diluar, yang nggak
kutemukan didalam rumah. Salah satunya sosok ayah. Aku sering mencari sosok
pemimpin, pengarah, pelindung dan semua yang tidak kutemukan dalam diri ayahku,
pada orang lain diluar sana. Bahkan diluar sana aku punya ayah kedua, seorang
guru karawitan semasa SMA yang tulus mendidik ku menjadi seorang sinden dulu,
sementara ayah kandung ku sendiri nggak setuju kalau aku “nyemplung” di dunia seni.
Dilain waktu, aku kuliah, dan dipertemukan dengan seorang program
director yang membantuku praktek kerja
disebuah stasiun radio di Surabaya. Beliau nggak cuma ngajarin gimana kerja di
radio, tapi juga mendidik, mengarahkan, mengingatkan, dan mensupport aku,
sementara ayah kandungku selama ini tidak pernah sepatah kata pun memperkuat
mental ku sebagai bentuk support buat gadis kecilnya menjalani hidup. Dan
banyak, masih banyak lagi kecenderunganku mencari sosok ayahku dalam diri orang
lain diluar sana.
Satu malam aku tidur dan bermimpi tentang ayahku. Aku melihat wajahnya
penuh peluh, lelah, mulai menua dan nggak sekuat dulu. Masih dalam mimpi, aku
mulai mengingat bagaimana ayahku selama ini membanting tulang, memutar otak, demi
aku tetap hidup, tetap makan, tetap sekolah, tetap kuliah dan tetap bahagia.
Aku mulai mengingat bagaimana ayahku mengorbankan tidur paginya dan bangun
dengan nyawa yang masih belum terkumpul, demi nganterin aku sekolah dulu. Aku
mulai mengingat bagaimana ayahku membuatkan dinding merah untukku setinggi 3
meter dirumah kami, sampai ibu sempat marah, cuma demi lukisan-lukisan ku bisa
terpajang dan terlihat semua ditembok itu.
Aku bangun dengan sedih, aku terlalu banyak mencari sosok ayah diluar
sana yang sebenarnya aku sendiri sudah miliki, hanya saja aku terlalu egois
sehingga aku cuma mengingat keburukannya, padahal aku tahu bahwa nggak ada
manusia yang sempurna. Ayahku memang dingin, diam, kaku, tidak sebercanda dan
seasyik ayah-ayah pada umumnya. Tapi aku sadar ternyata dibalik itu ayahku
adalah ayah yang “talk less, do more”,
bukan kah itu yang disebut gentleman?
So, sekarang aku lebih bisa mensyukuri apa yang aku miliki, termasuk
ayahku. Mendoakannya adalah kewajibanku. Dan tanpa mengurangi rasa hormatku
terhadap mereka yang juga sudah seperti ayahku sendiri diluar sana, aku cuma
pengen bilang, ayahku, adalah ayah terbaik yang aku punya…. May God Bless our
ayah, dad, papa, atau dengan apapun mereka disebut, thank you :)
Blessed girl, Blessed daughter,
-Rosa Brigitta-
Komentar