emiah,
goresan kisah sedari fajar hingga senja menghuni setiap sudut jemarinya. Ujung
kuku-kuku tua yang hampir menghitam menjadi saksi bisu sejarah dirinya. Hampir
separuh abad pakaian-pakaian kotor dan busa sabun menjadi bagian dari
tangguhnya perjuangan hidup, tepatnya 49 tahun ia mencari nafkah menjadi
seorang tukang cuci. Sejak berumur 16 tahun ia sudah menggeluti profesinya
sebagai tukang cuci panggilan.
Tak
ada pilihan, bekerja keras di masa tuanya adalah satu-satunya jalan untuk
dirinya menyambung nyawa. Terlalu besar nominal rupiah yang dibutuhkan untuk
mencukupi kehidupan ini. Mungkin seandainya waktu bisa diputar, ia ingin
bersekolah demi derajat hidup yang lebih baik. Namun apa daya, sekali lagi, tak
ada yang bisa menakhlukan sang waktu.
|
|||
“Dulu
sejarahnya nyuci, umur 16 tahun saya sudah nyuci, mbak,” tuturnya.
“wah,
lama juga ya mak?” takjubku.
“Iya,
kan sebelum tinggal disini, saya sudah nyuci,” katanya lagi.
“Memangnya
emak waktu itu tinggal dimana?”
“Di
Wonokromo,” jawabnya.
Ya,
sebelum tinggal di Simohilir blok 2B no 23, Surabaya seperti saat ini, Jemiah
sempat tinggal didaerah Wonokromo, Surabaya. Sejak belia ia sudah bekerja
keras. Meski saat ini kedua tangannya tak sekokoh dulu, ia tetap berusaha
mencuci pakaian dengan sisa-sisa tenaga dari tulang tuanya. Bahkan dulu ketika masih kuat meladeni lebih
dari satu panggilan mencuci, ia menerjang terik dan polusi dari Simohilir
menuju Jl. Pacuan Kuda, Surabaya dengan berjalan kaki.
Kini
Wanita 65 tahun ini tak lagi lincah dalam setiap gerak tubuhnya. Berjalan pun
harus berhati-hati. Beban tubuh tak lagi tertopang sempurna dengan tulang kaki
yang hampir rapuh. Aku selalu melihatnya bagaikan seorang pincang, namun tetap
kuat disetiap langkahnya. Aku pun mengamati tangan keriputnya mengenggam erat
pegangan anak tangga, setiap ia akan menyeterika di lantai atas sebuah rumah
majikan tempat ia bekerja.
“Dulu
masih kuat mbak, panggilan nyuci dimana-mana, malah sampe pacuan kuda.”
“Oh
ya? Emak naik apa kesana?”
“Ya
jalan, mbak”
“Jalan?
Jalan kaki mak?”
“lho
iya, mbak.”
“Wah
hebat sekali emak!”
“kalau
sekarang kan sudah nggak kuat. Jadi cuma nyuci disatu tempat.”
Begitulah
sepotong percakapanku dan Jemiah yang kupanggil “emak” itu. Sekarang dirinya
tak sekuat dulu, berbagai tawaran mencuci tak mampu lagi ia ladeni semuanya.
Hanya satu panggilan dari majikan yang juga merupakan tetangganya yang tetap ia
terima saat ini.
Sebenarnya
ia tak diperbolehkan anak-anaknya untuk bekerja dimasa tua seperti saat ini.
Namun Jemiah tak ingin menggantungkan hidup pada anak-anaknya yang juga
memiliki serentetan beban tanggungan. Baginya, selama ia masih kuat bekerja ia
akan tetap berusaha sekuat tenaga demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
Tak
hanya dengan menjadi tukang cuci, ia juga mencari nafkah lewat usaha kecil
berjualan sayur mayur dan bahan makanan lain dirumahnya. Sebelum fajar terbit,
ia sudah menata setumpuk sayuran dan bahan makanan lain yang dipasoknya dari
pasar simo setiap pukul 2 pagi. Barulah ketika jarum jam menunjuk angka lima
pagi, toko sayur nya itu mulai ramai pembeli. Hingga pukul 7 pagi Jemiah tak
kunjung jeda melayani para pembeli, bahkan hanya untuk bersantai menikmati
mentari terbit pun tak bisa karena di jam-jam tersebut pembeli selalu datang
berbondong-bondong.
Senyumnya
tak pernah pudar, bahkan menandingi indah sinar sang fajar. Setiap pembeli
dilayaninya dengan cekatan dan sabar.
Kulit tangan sawo matangnya membungkus sayur mayur dan bahan makanan lain yang
dibeli para pelanggan. Begitulah rutinitas Jemiah menyapa pagi disetiap hari.
Dan
ketika fajar mulai memanjati langit, menyiramkan teriknya diatas ubun-ubun,
Jemiah bergegas menuju rumah majikannya untuk tugas sehari-harinya sebagai
tukang cuci. Sang majikan membayar Jemiah
200 ribu perbulan untuk mencuci sekaligus menyetrika pakaian. Ia hanya bekerja
empat kali seminggu, dan hanya mencuci pakaian kotor satu orang saja, yakni
majikannya itu sendiri. Sekiranya hasil itu cukup baginya untuk kebutuhan pokok
sehari-hari ditambah dengan laba dari usaha kecil berjualan sayur mayur.
Tiada
kata yang lebih indah dari ucapan syukur Jemiah atas berapapun hasil yang
didapatkannya. Terkadang manusia sering lupa mengucap syukur, namun bagi wanita
tua beprofesi tukang cuci ini bersyukur adalah kewajiban utamanya sebagai
manusia apapun keadaan yang sedang ia rasakan.
Seusainya
mencuci dan menyeterika pakaian, ia mengisi kembali tenaganya yang hampir tak
tersisa. Setiap selesai bekerja, majikannya selalu menyuruh Jemiah untuk makan
terlebih dahulu sebelum kembali kerumahnya. Ia lantas mengambil sepiring nasi
dengan lauk pauknya, melahapnya dengan gigi-gigi yang hanya tersisa di geraham.
Nikmatnya berkah selalu menjadi kekuatan bagi Jemiah disetiap aktivitasnya.
Fajar perlahan turun dari langit, tempatnya
menari-nari menumpahkan terik. Wangi senja mulai tercium disekitar awan yang
hampir memudar. Kini waktunya Jemiah kembali pulang. Dengan langkah kecil dan
penuh hati-hati ia menyusuri setapak demi setapak gang dari rumah majikan
menuju rumahnya. Sesampainya dirumah ia melanjutkan berjualan sayur hingga petang.
Itulah keseharian Jemiah, dari fajar hingga menyambut senja.
to be continued ...
Komentar