Kisah Lapuk Jemiah; Fajar hingga Senja (Part 2) Repost 15 Juni 2014

emiah, goresan kisah sedari fajar hingga senja menghuni setiap sudut jemarinya. Ujung kuku-kuku tua yang hampir menghitam menjadi saksi bisu sejarah dirinya. Hampir separuh abad pakaian-pakaian kotor dan busa sabun menjadi bagian dari tangguhnya perjuangan hidup, tepatnya 49 tahun ia mencari nafkah menjadi seorang tukang cuci. Sejak berumur 16 tahun ia sudah menggeluti profesinya sebagai tukang cuci panggilan.

            Tak ada pilihan, bekerja keras di masa tuanya adalah satu-satunya jalan untuk dirinya menyambung nyawa. Terlalu besar nominal rupiah yang dibutuhkan untuk mencukupi kehidupan ini. Mungkin seandainya waktu bisa diputar, ia ingin bersekolah demi derajat hidup yang lebih baik. Namun apa daya, sekali lagi, tak ada yang bisa menakhlukan sang waktu.














            “Dulu sejarahnya nyuci, umur 16 tahun saya sudah nyuci, mbak,” tuturnya.
            “wah, lama juga ya mak?” takjubku.
            “Iya, kan sebelum tinggal disini, saya sudah nyuci,” katanya lagi.
            “Memangnya emak waktu itu tinggal dimana?”
            “Di Wonokromo,” jawabnya.

            Ya, sebelum tinggal di Simohilir blok 2B no 23, Surabaya seperti saat ini, Jemiah sempat tinggal didaerah Wonokromo, Surabaya. Sejak belia ia sudah bekerja keras. Meski saat ini kedua tangannya tak sekokoh dulu, ia tetap berusaha mencuci pakaian dengan sisa-sisa tenaga dari tulang tuanya.  Bahkan dulu ketika masih kuat meladeni lebih dari satu panggilan mencuci, ia menerjang terik dan polusi dari Simohilir menuju Jl. Pacuan Kuda, Surabaya dengan berjalan kaki.

            Kini Wanita 65 tahun ini tak lagi lincah dalam setiap gerak tubuhnya. Berjalan pun harus berhati-hati. Beban tubuh tak lagi tertopang sempurna dengan tulang kaki yang hampir rapuh. Aku selalu melihatnya bagaikan seorang pincang, namun tetap kuat disetiap langkahnya. Aku pun mengamati tangan keriputnya mengenggam erat pegangan anak tangga, setiap ia akan menyeterika di lantai atas sebuah rumah majikan tempat ia bekerja.
           

            “Dulu masih kuat mbak, panggilan nyuci dimana-mana, malah sampe pacuan kuda.”
            “Oh ya? Emak naik apa kesana?”
            “Ya jalan, mbak”
            “Jalan? Jalan kaki mak?”
            “lho iya, mbak.”
            “Wah hebat sekali emak!”
            “kalau sekarang kan sudah nggak kuat. Jadi cuma nyuci disatu tempat.”

            Begitulah sepotong percakapanku dan Jemiah yang kupanggil “emak” itu. Sekarang dirinya tak sekuat dulu, berbagai tawaran mencuci tak mampu lagi ia ladeni semuanya. Hanya satu panggilan dari majikan yang juga merupakan tetangganya yang tetap ia terima saat ini.

            Sebenarnya ia tak diperbolehkan anak-anaknya untuk bekerja dimasa tua seperti saat ini. Namun Jemiah tak ingin menggantungkan hidup pada anak-anaknya yang juga memiliki serentetan beban tanggungan. Baginya, selama ia masih kuat bekerja ia akan tetap berusaha sekuat tenaga demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah.


            Tak hanya dengan menjadi tukang cuci, ia juga mencari nafkah lewat usaha kecil berjualan sayur mayur dan bahan makanan lain dirumahnya. Sebelum fajar terbit, ia sudah menata setumpuk sayuran dan bahan makanan lain yang dipasoknya dari pasar simo setiap pukul 2 pagi. Barulah ketika jarum jam menunjuk angka lima pagi, toko sayur nya itu mulai ramai pembeli. Hingga pukul 7 pagi Jemiah tak kunjung jeda melayani para pembeli, bahkan hanya untuk bersantai menikmati mentari terbit pun tak bisa karena di jam-jam tersebut pembeli selalu datang berbondong-bondong.

            Senyumnya tak pernah pudar, bahkan menandingi indah sinar sang fajar. Setiap pembeli dilayaninya dengan cekatan dan  sabar. Kulit tangan sawo matangnya membungkus sayur mayur dan bahan makanan lain yang dibeli para pelanggan. Begitulah rutinitas Jemiah menyapa pagi disetiap hari.



 

            Dan ketika fajar mulai memanjati langit, menyiramkan teriknya diatas ubun-ubun, Jemiah bergegas menuju rumah majikannya untuk tugas sehari-harinya sebagai tukang cuci.  Sang majikan membayar Jemiah 200 ribu perbulan untuk mencuci sekaligus menyetrika pakaian. Ia hanya bekerja empat kali seminggu, dan hanya mencuci pakaian kotor satu orang saja, yakni majikannya itu sendiri. Sekiranya hasil itu cukup baginya untuk kebutuhan pokok sehari-hari ditambah dengan laba dari usaha kecil berjualan sayur mayur.

            Tiada kata yang lebih indah dari ucapan syukur Jemiah atas berapapun hasil yang didapatkannya. Terkadang manusia sering lupa mengucap syukur, namun bagi wanita tua beprofesi tukang cuci ini bersyukur adalah kewajiban utamanya sebagai manusia apapun keadaan yang sedang ia rasakan.

            Seusainya mencuci dan menyeterika pakaian, ia mengisi kembali tenaganya yang hampir tak tersisa. Setiap selesai bekerja, majikannya selalu menyuruh Jemiah untuk makan terlebih dahulu sebelum kembali kerumahnya. Ia lantas mengambil sepiring nasi dengan lauk pauknya, melahapnya dengan gigi-gigi yang hanya tersisa di geraham. Nikmatnya berkah selalu menjadi kekuatan bagi Jemiah disetiap aktivitasnya.



 

            Fajar perlahan turun dari langit, tempatnya menari-nari menumpahkan terik. Wangi senja mulai tercium disekitar awan yang hampir memudar. Kini waktunya Jemiah kembali pulang. Dengan langkah kecil dan penuh hati-hati ia menyusuri setapak demi setapak gang dari rumah majikan menuju rumahnya. Sesampainya dirumah ia melanjutkan berjualan sayur hingga petang. Itulah keseharian Jemiah, dari fajar hingga menyambut senja.




to be continued ...


Komentar