Perjuangan hidup telah dirasakannya sejak kecil, tak ada keluh kesah yang berarti, karna seperti itulah adanya dia. Jemiah yang dulu besar disebuah desa terpencil di Ponorogo banyak menghabiskan waktu di sawah, bersama dengan teman-teman sebayanya, mereka mengumpulkan padi yang telah menguning untuk dijualnya.
“Masa
kecil saya dulu ya mainnya di sawah, mbak. Di desa saya di Ponorogo sana. Nyari
padi sama teman-teman.”
“Untuk
dijual, mak?”
“Iya
mbak, dijual.”
“Oh,
Emak waktu itu umur berapa?”
“Masih
kecil mbak, ya umur 10 tahunan.”
“Emak
lebih seneng di desa apa dikota, mak?”
“Kalo
di desa sama di kota ya sama aja mbak, tapi kalau dikota itu harus kerja keras.
Lha kalo didesa kan enggak mbak, tinggal duduk saja nggak usah nyambut gawe”
“Emangnya
emak nggak pernah mudik kesana?”
“Jarang,
mbak. Idul Fitri kemarin sih mudik. Tapi ya jarang-jarang mudik kesana.”
“Terus
rumahnya yang di Ponorogo sekarang ditinggali siapa, mak?”
“Ditinggali
mbak yu ku.”
Sejak
kecil ia harus bekerja keras mengumpulkan padi yang telah menguning, yang
kemudian dijualnya demi mencari nafkah. Dari situlah ia terlatih gigih dalam
bekerja, tak pernah patah semangat bahkan hingga hari tua.
“Jaman
sekarang ini enak mbak, apa-apa ada. Kalau dulu jamannya masih susah. Listrik
nggak ada, kompor nggak ada, kain bagus seperti ini juga susah didapet.”
Kisahnya sembari memasukkan sebuah dress yang baru disetrikanya kedalam lemari
pakaian.
Aku
terus memasang kedua telingaku dan mendengarkan kisah demi kisah yang
diceritakannya dengan seksama. Tak ingin tertinggal satu kisah pun, aku yang saat
itu sembari memotret kegiatannya menyeterika pakaian mulai meletakkan kameraku
dan fokus menyerapi setiap alur yang mengalir dari suara khas wanita tua itu.
“Dulu
di desa itu nggak ada lampu-lampu seperti disini, Cuma pakai lampu ublik. Terus kalau masak juga nggak
pakai kompor, harus cari kayu bakar dulu untuk masak.” Pungkasnya lagi.
Kerut
dikeningku seakan menunjukkan keheranan terhadap keadaan yang tak pernah
kualami. Ya, hidup dijaman sekarang memang serba mudah. Apapun bisa didapatkan
dengan mudah. Segala kecanggihan dan teknologi baru seakan membutakan mata
jiwa-jiwa muda sepertiku hingga tak mengenali arti perjuangan yang
sesungguhnya. Mungkin bukan tentang seberapa besar hal yang dihadapi, tapi
seberapa tahan kita berdiri tanpa keluh kesah yang berarti.
“Dulu
juga cari kain bagus itu susah, adanya benang wol yang dijahit sendiri. Malah
dulu waktu jamannya Belanda, orang-orang pakai karung goni.” lanjutnya.
“Emak
apa juga pakai karung goni?” Tanyaku.
“Enggak
mbak, dulu kan mbak yu saya punya
usaha njahit dari benang wol itu, dijadikan baju, rok, celana, jadi saya pakai
baju dari situ. Kalau orang-orang lain ya ada yang pakai karung goni. Ya
bersyukur mbak yu saya punya usaha
njahit waktu itu, jadi saya nggak usah pakai karung goni.” ujarnya sambil
tersenyum kepadaku.
Itulah Jemiah, kesederhanaan tak
membuatnya berhenti bersyukur atas nikmat yang diberikan Sang Pencipta. Tak ada
alasan untuk mengeluh, hidup dijaman susah pun masih terasa indah jika manusia
bisa menghargai setiap berkah yang dilimpahkan kepadanya. Nikmat hidup di masa
karung goni adalah salah satu berkah yang dilimpahkan Tuhan kepadanya, dimana
pada jaman Belanda masih banyak orang-orang memakai pakaian dengan karung goni,
namun dirinya sudah bisa memakai pakaian dari benang wol.
To be continued...
Komentar