Kisah Lapuk Jemiah; Nikmat Hidup di Masa Karung Goni (Part 4) Repost 18 Juli 2014


           Perjuangan hidup telah dirasakannya sejak kecil, tak ada keluh kesah yang berarti, karna seperti itulah adanya dia. Jemiah yang dulu besar disebuah desa terpencil di Ponorogo banyak menghabiskan  waktu di sawah, bersama dengan teman-teman sebayanya, mereka mengumpulkan padi yang telah menguning untuk dijualnya.

            “Masa kecil saya dulu ya mainnya di sawah, mbak. Di desa saya di Ponorogo sana. Nyari padi sama teman-teman.”
            “Untuk dijual, mak?”
            “Iya mbak, dijual.”
            “Oh, Emak waktu itu umur berapa?”
            “Masih kecil mbak, ya umur 10 tahunan.”
            “Emak lebih seneng di desa apa dikota, mak?”
            “Kalo di desa sama di kota ya sama aja mbak, tapi kalau dikota itu harus kerja keras. Lha kalo didesa kan enggak mbak, tinggal duduk saja nggak usah nyambut gawe
            “Emangnya emak nggak pernah mudik kesana?”
            “Jarang, mbak. Idul Fitri kemarin sih mudik. Tapi ya jarang-jarang mudik kesana.”
            “Terus rumahnya yang di Ponorogo sekarang ditinggali siapa, mak?”
            “Ditinggali mbak yu ku.”

            Sejak kecil ia harus bekerja keras mengumpulkan padi yang telah menguning, yang kemudian dijualnya demi mencari nafkah. Dari situlah ia terlatih gigih dalam bekerja, tak pernah patah semangat bahkan hingga hari tua.

            “Jaman sekarang ini enak mbak, apa-apa ada. Kalau dulu jamannya masih susah. Listrik nggak ada, kompor nggak ada, kain bagus seperti ini juga susah didapet.” Kisahnya sembari memasukkan sebuah dress yang baru disetrikanya kedalam lemari pakaian.
           
            Aku terus memasang kedua telingaku dan mendengarkan kisah demi kisah yang diceritakannya dengan seksama. Tak ingin tertinggal satu kisah pun, aku yang saat itu sembari memotret kegiatannya menyeterika pakaian mulai meletakkan kameraku dan fokus menyerapi setiap alur yang mengalir dari suara khas wanita tua itu. 




            “Dulu di desa itu nggak ada lampu-lampu seperti disini, Cuma pakai lampu ublik. Terus kalau masak juga nggak pakai kompor, harus cari kayu bakar dulu untuk masak.” Pungkasnya lagi.
           
            Kerut dikeningku seakan menunjukkan keheranan terhadap keadaan yang tak pernah kualami. Ya, hidup dijaman sekarang memang serba mudah. Apapun bisa didapatkan dengan mudah. Segala kecanggihan dan teknologi baru seakan membutakan mata jiwa-jiwa muda sepertiku hingga tak mengenali arti perjuangan yang sesungguhnya. Mungkin bukan tentang seberapa besar hal yang dihadapi, tapi seberapa tahan kita berdiri tanpa keluh kesah yang berarti.

            “Dulu juga cari kain bagus itu susah, adanya benang wol yang dijahit sendiri. Malah dulu waktu jamannya Belanda, orang-orang pakai karung goni.” lanjutnya.
            “Emak apa juga pakai karung goni?” Tanyaku.
            “Enggak mbak, dulu kan mbak yu saya punya usaha njahit dari benang wol itu, dijadikan baju, rok, celana, jadi saya pakai baju dari situ. Kalau orang-orang lain ya ada yang pakai karung goni. Ya bersyukur mbak yu saya punya usaha njahit waktu itu, jadi saya nggak usah pakai karung goni.” ujarnya sambil tersenyum kepadaku.
           
            Itulah Jemiah, kesederhanaan tak membuatnya berhenti bersyukur atas nikmat yang diberikan Sang Pencipta. Tak ada alasan untuk mengeluh, hidup dijaman susah pun masih terasa indah jika manusia bisa menghargai setiap berkah yang dilimpahkan kepadanya. Nikmat hidup di masa karung goni adalah salah satu berkah yang dilimpahkan Tuhan kepadanya, dimana pada jaman Belanda masih banyak orang-orang memakai pakaian dengan karung goni, namun dirinya sudah bisa memakai pakaian dari benang wol.




To be continued...


Komentar