Waktu Masih Belajar Nulis: Roda Harapan (Repost from 14 Desember 2013)


(Brigittallery/Rosa)

             Kerja keras seorang wanita merupakan bentuk emansipasi yang telah banyak dicanangkan sejak era Kartini. Namun tak banyak yang tau, bagaimana kegigihan wanita-wanita itu di balik bidang profesinya masing-masing.

           Adalah seorang wanita penambal ban bernama Gima (49) yang tinggal di Jalan Bronggalan Sawah Gang 5 Baru Tengah No. 49 Surabaya. Lahir di banyuwangi, 14 Juni 1964, Ibu tiga anak ini menggeluti profesinya sejak enam tahun yang lalu. Kerja kerasnya menjadi seorang penambal ban semata-mata demi memperjuangkan hidupnya dan anak bungsunya, Gagi Oktavianus. Kedua anaknya yang lain, Sumarno (30) dan Suprapti (22) telah dewasa dan berkeluarga, namun Gima tak ingin menggantungkan hidup pada mereka. Selama fisiknya masih kuat, ia bertekad akan terus bekerja demi kebutuhan hidupnya dan Gagi.

Profesi tersebut merupakan peninggalan almarhum suaminya yang dulu seorang penambal ban, namun meninggal pada 9 Januari 2007 akibat serangan jantung koroner. Sejak saat itu Gima meneruskan profesi tersebut dengan penghasilan rata-rata 50 ribu-100 ribu/3 hari. Ia bekerja dari pukul 06:00 hingga pukul 18:00 WIB. Dengan penghasilan yang minimal, Gima mampu membeli tanah senilai 16 juta, sepeda motor senilai 3,5 juta dan sebuah kompresor seharga 6 juta. Selain itu ia juga mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari dirinya dan Gagi serta sekolah dasar dan sekolah sepak bola Gagi.

“Nggak gampang kerja di embong mbak, banyak godaannya. Aku pernah diajak, terus tiba-tiba uang dimasukin ke dompet gitu aja. Katanya, ngapain kerja ginian. Mending ikut dia aja enak.” ceritanya. Itulah salah satu tantangan yang dihadapi Gima dalam pekerjaannya. Namun ia tidak peduli, baginya hal-hal seperti itu tidak ada gunanya. Ia tetap setia dengan pekerjaannya yang halal.

Gima tidak pernah berkeluh kesah dan merasa kekurangan, ia selalu merasa cukup dan bersyukur atas apa yang diterimanya saat ini. “Yang penting bisa makan sehari-hari dan menyekolahkan Gagi saja sudah cukup, mbak” jelasnya. Gagi adalah satu-satunya tumpuan harapan Gima. Ia berjuang keras membiayai sekolah sepak bola Gagi dan berharap Gagi sukses di TIMNAS nantinya. Biaya sekolah sepak bola tersebut tidak sedikit, bahkan lebih banyak dari biaya sekolah dasar Gagi. Namun Gima tidak menyerah, ia terus berusaha supaya Gagi bisa meraih cita-citanya sesuai apa yang diinginkan anaknya itu. Namun ia juga tak lupa mengontrol perkembangan akademik Gagi di sekolah dasar. “kalau anak semangat, orang tua harus mengikuti. Kalau orang tua tidak mendukung, jujur saja anak itu tidak akan jadi.” tutur Gima sembari tersenyum. (Rosa)

Komentar