![]() |
(Brigittallery/Rosa) |
Kerja
keras seorang wanita merupakan bentuk emansipasi yang telah banyak dicanangkan
sejak era Kartini. Namun tak banyak yang tau, bagaimana kegigihan wanita-wanita
itu di balik bidang profesinya masing-masing.
Adalah
seorang wanita penambal ban bernama Gima (49) yang tinggal di Jalan Bronggalan
Sawah Gang 5 Baru Tengah No. 49 Surabaya. Lahir di banyuwangi, 14 Juni 1964,
Ibu tiga anak ini menggeluti profesinya sejak enam tahun yang lalu. Kerja
kerasnya menjadi seorang penambal ban semata-mata demi memperjuangkan hidupnya
dan anak bungsunya, Gagi Oktavianus. Kedua anaknya yang lain, Sumarno (30) dan
Suprapti (22) telah dewasa dan berkeluarga, namun Gima tak ingin menggantungkan
hidup pada mereka. Selama fisiknya masih kuat, ia bertekad akan terus bekerja
demi kebutuhan hidupnya dan Gagi.
Profesi tersebut
merupakan peninggalan almarhum suaminya yang dulu seorang penambal ban, namun meninggal pada 9
Januari 2007 akibat serangan jantung
koroner. Sejak saat itu Gima meneruskan profesi
tersebut dengan penghasilan rata-rata 50 ribu-100 ribu/3 hari. Ia bekerja dari
pukul 06:00 hingga pukul 18:00 WIB. Dengan penghasilan yang minimal, Gima mampu
membeli tanah senilai 16 juta, sepeda motor senilai 3,5 juta dan sebuah
kompresor seharga 6 juta. Selain itu ia juga mampu mencukupi kebutuhan
sehari-hari dirinya dan Gagi serta sekolah dasar dan sekolah sepak bola Gagi.
“Nggak gampang kerja di embong mbak, banyak godaannya. Aku pernah
diajak, terus tiba-tiba uang dimasukin ke dompet gitu aja. Katanya, ngapain
kerja ginian. Mending ikut dia aja enak.” ceritanya. Itulah salah satu
tantangan yang dihadapi Gima dalam pekerjaannya. Namun ia tidak peduli, baginya
hal-hal seperti itu tidak ada gunanya. Ia tetap setia dengan pekerjaannya yang
halal.
Gima tidak pernah berkeluh kesah dan merasa kekurangan, ia selalu merasa
cukup dan bersyukur atas apa yang diterimanya saat ini. “Yang penting bisa
makan sehari-hari dan menyekolahkan Gagi saja sudah cukup, mbak” jelasnya. Gagi
adalah satu-satunya tumpuan harapan Gima. Ia berjuang keras membiayai sekolah
sepak bola Gagi dan berharap Gagi sukses di TIMNAS nantinya. Biaya sekolah
sepak bola tersebut tidak sedikit, bahkan lebih banyak dari biaya sekolah dasar
Gagi. Namun Gima tidak menyerah, ia terus berusaha supaya Gagi bisa meraih
cita-citanya sesuai apa yang diinginkan anaknya itu. Namun ia juga tak lupa
mengontrol perkembangan akademik Gagi di sekolah dasar. “kalau anak semangat,
orang tua harus mengikuti. Kalau orang tua tidak mendukung, jujur saja anak itu
tidak akan jadi.” tutur Gima sembari tersenyum. (Rosa)
Komentar